Jamur merupakan salah satu patogen ikan yang
penting namun kadang kala terabaikan karena keberadaan patogen lainnya yang
lebih “berbahaya” dan infeksi jamur yang kerap sebagai infeksi sekunder. Meskipun
demikian, beberapa fungi atau jamur cukup mematikan, seperti pada kasus
Epizootic Ulcer Syndrom (EUS). Pun demikian dengan pemeriksaan dan identifikasi
jamur tidaklah mudah. Pemeriksaan dan
identifikasi jamur terbilang sulit dan terkadang membutuhkan media buatan agar
jamur dapat tumbuh. Sebagai dampaknya adalah patogen jamur jarang sekali teridentifikasi
hingga level genus.
1. Makroskopis
Pemeriksaan ini dilakukan secara kasat mata. Pada
umumnya, infeksi jamur ditandai dengan adanya gambaran serupa kapas pada
permukaan kulit, insang, atau telur ketika ikan berada di dalam air. Warna dari
gambaran ini bervariasi, karena adanya kontak dengan alga sehingga dapat
berwarna merah, coklat ataupun hijau. Sedangkan ketika di luar media air,
gambaran kapas ini sulit teramati karena akan berubah menjadi seperti massa
tebal dan licin. Namun pada jenis jamur lainnya, seperti Aphanomyces, secara makroskopis yang dapat terlihat adalah lesi
eritema yang berkembang menjadi dermatitis nekrotik.
Infeksi jamur Aphanomyces serupa kapas pada sisi tubuh (Grant et al., 2014) |
2. Mikroskopis
a. Wet mount
Prosedur ini dilakukan dengan mengerok kulit (skin scrapping) atau mengiris insang
dimana lesi berada. Pada pemeriksaan ini, akan teramati miselium yang
transparan, cabang, septa, serta hifa.
Wet mount dari kulit ikan Channel catfish yang merepresentasikan Saprolegnia (Khoo, 2000) |
Serupa dengan wet mount, namun pada pemeriksaan
ini ditambahkan bahan pewarna untuk mempermudah pemeriksaan. Pemeriksaan jamur
mikroskopis metode ini yang populer adalah menggunakan pewarna lactophenol
cotton blue. Pada pemeriksaan ini digunakan tiga komponen yakni phenol untuk
membunuh organisme lain yang masih hidup, asam laktat untuk memperjelas struktur jamur, dan cotton blue
yang mewarnai kitin pada dinding sel jamur. Langkah yang dilakukan pada
pemeriksaan ini meliputi:
- Tempatkan setetes alkohol 70% pada gelas objek
- Goreskan material/spesimen pada alkohol tersebut
- Tambahkan 1-2 tetes pewarna
lactophenol/cottonblue sebelum alkohol mengering
- Tempatkan kaca penutup lalu amati
Pada pemeriksaan dengan lactophenol cotton blue,
dapat diamati adanya septa dari hifa, conidiofor yang halus/kasar, bentuk
vesikel, susunan, jumlah baris dari strigmata. Disamping dengan lactophenol
cotton blue, bahan pewarna lainnya seperti metilin biru, giemsa, dll juga dapat
digunakan.
Conidiophore dari A. flavus (Abdel-Latif et al., 2015)
c. Bakteriologis
Isolasi dan kultur jamur dapat digunakan
menggunakan berbagai media. Media jamur pada umumnya mengandung antibiotik yang
bertujuan meminimalisir pertumbuhan bakteri. Namun demikian ada beberapa jenis
jamur yang sensitif terhadap antibiotik. Media yang umum digunakan untuk jamur
antara lain Saubouraud's dextrose agar (SDA), glucose yeast extract agar, peptone-dextrose
agar, dan corn meal agar. Noga (1996) menyatakan bahwa SDA direkomendasikan
untuk non oomycetes dan media corn-meal
agar untuk kultur oomycetes. Pada kultur jamur asal laut, disarankan
menambahkan air laut steril atau garam tambahan. Pertumbuhan jamur dapat
diamati setelah beberapa hari.
d. Histopatologi
Penggunaan histologi dalam deteksi infeksi jamur
cukup menguntungkan, disamping lebih cepat dan murah, mampu menampilkan
gambaran reaksi jaringan terhadap infeksi jamur. Namun demikian
struktur-struktur unik dari jamur terkadang sulit teramati sehingga identfikasi
spesies sulit dilakukan dengan histologi. Meskipun bukan pewarnaan khusus, pada
beberapa jenis jamur seperti L. Loboi
atau Rhinosporidium, diagnosa secara
histopatologi lebih berguna sebab isolasi jamur uni masih belum berhasil
dilakukan. Pada pewarnaan histologi, keberhasilan deteksi jamur ditentukan
sejak pemilihan sampel yang akan diamati. Beberapa jamur berada di tepi lesi
infeksi, yang lainnya berada di tengah. Bentukan jamur yang dapat teramati pada
histologi meliputi sel yeast, hifa, pseudohypha, arthroconidia, chlamydoconidia dan spherula. Reaksi yang
ditimbulkan oleh infeksi jamur juga bervariasi. Beberapa menimbulkan respon
granulomatous (seperti Ichthyoponus)
namun pada yang lainnya teramati gambaran hifa disertai debris seluler dan
material di permukaan kulit. Pada area di bawahnya, akan teramati nekrosis,
edema, dan hemoragi sebagai lesi utama. Lesi semacam ini dapat ditemukan pada
infeksi Saprolegnia.
Degenerasi disertai bagian dari fungi (Abdel-Latif
et al., 2015)
e. Pewarnaan khusus
Beberapa pewarna khusus histologi dapat digunakan
untuk mendeskripsikan jamur seperti PAS, GMS, Gridley’s fungus. Diantara
ketiganya, GMS lebih menguntungkan dilakukan sebab dapat mewarnai elemen jamur
yang viabel dan tua. Pewarna mucin seperti Meyer’s mucicarmine dan alcial blue
dapat mewarnai kapsula C. Neoformans. Kelompok
Blastomeyces dan R. Seeberi juga
dapat terwarnai dengan pewarna mucin.
Pewarnaan PAS untuk jamur (Abdel-Latif et al., 2015)
Referensi
Abdel-Latif, H.M.R., R.H. Khalil, H.R. El-hofi,
T.T. Saad, S.M.A. Zaied. 2015. Epidemiological investigations of Mycotic
infections of cultured Gilthead seabream, Sparus aurata at Marriott Lake, Egypt.
International Journal of Fisheries and Aquatic Studies 2(3): 05-13
Meyer, F.P. dan Barclay, L.A (Ed). 1990. Field
Manual for The Investigation of Fish Kills. U.S. Fish and Wildlife Service
Wildgoose, W.H (Ed). 2001.
BSAVA Manual of
Ornamental Fish. British Small Animal Veterinary Association
Anonim. 1999. Corneal ulcer. Community Eye Health 12(30)
Gupta, E., P. Bhalla, N. Khurana, T. Singh. 2009. Histopathology
For The Diagnosis Of Infectious Diseases. Indian Journal of Medical
Microbiology 27(2): 100-6
Himedia technical data
Khoo, L. 2000. Fungal Disease in Fish. Seminars in
Avian and Exotic Pet Medicine 9(2)
Yanong, R.P.E. 2000. Fungal Disease of Fish. Vet
Clin Exot Anim 6: 377–400
No comments:
Post a Comment