Nama lain: luminous disease,
Luminous Vibrio [2], luminescent vibriosis [5]
Hospes : P. monodon, P. merguiensis [2], P.
indicus [4], P. vannamei [9]
Stadium rentan : larva udang [1], telur,
post larva [4], juvenil, dewasa [9]
Etiologi/ penyebab: V. harveyi [1],
V. alginolyticus, V. parahaemolyticus, V.
splendidius [2]
Epizootiologi
Penyakit kunang dapat menimbulkan kematian pada larva dan postlarva hingga 100% [4]. Penularan bakteri ini terjadi secara per oral dimana bakteri membentuk plak di mulut. Telur yang terinfeksi juga dapat menjadi sumber infeksi pada kolam pembesaran [4].
Penyakit kunang dapat menimbulkan kematian pada larva dan postlarva hingga 100% [4]. Penularan bakteri ini terjadi secara per oral dimana bakteri membentuk plak di mulut. Telur yang terinfeksi juga dapat menjadi sumber infeksi pada kolam pembesaran [4].
Faktor pendukung
-
-
Gejala Klinis
Tidak begitu jelas [5]. Gejala klinis penyakit ini antara lain dalam kondisi gelap udang terlihat menyala, nafsu makan menurun, lemah, warna tubuh gelap sampai putih dan terlihat bercak merah [1]. Kadang kala dapat teramati perubahan warna cephalothorax (area hepatopankreas) menjadi lebih gelap. Warna opaq pada tubuh teramati pada segmen ke 5 dan 6 [9]. Pada larva yang terinfeksi berat, perubahan warna dapat menjadi hijau (dalam kondisi gelap) [4]. Usus kosong dan karapas yang lunak kerap dijumpai bersamaan dengan penyakit ini. Pada stadium akhir, penyakit kunang ini sering dikaitkan dengan penyakit loose shell syndrome [5].
Tidak begitu jelas [5]. Gejala klinis penyakit ini antara lain dalam kondisi gelap udang terlihat menyala, nafsu makan menurun, lemah, warna tubuh gelap sampai putih dan terlihat bercak merah [1]. Kadang kala dapat teramati perubahan warna cephalothorax (area hepatopankreas) menjadi lebih gelap. Warna opaq pada tubuh teramati pada segmen ke 5 dan 6 [9]. Pada larva yang terinfeksi berat, perubahan warna dapat menjadi hijau (dalam kondisi gelap) [4]. Usus kosong dan karapas yang lunak kerap dijumpai bersamaan dengan penyakit ini. Pada stadium akhir, penyakit kunang ini sering dikaitkan dengan penyakit loose shell syndrome [5].
Perubahan patologi
Organ target utama infeksi bakteri dari penyakit kunang ini adalah hepatopankreas. Namun bakteri juga dapat ditemukan pada organ limfoid. Secara histopatologi, hepatopankreas menunjukkan peradangan di sekeliling tubulus [9]. Pada individu dewasa, lesi melanisasi teramati pada hepatopankreas bagian proksimal. Lesi ini akan menjadi nekrosis dan mengganggu fungsi hepatopankreas hingga akhirnya terjadi perlambata pertumbuhan bahkan kematian [9]
Organ target utama infeksi bakteri dari penyakit kunang ini adalah hepatopankreas. Namun bakteri juga dapat ditemukan pada organ limfoid. Secara histopatologi, hepatopankreas menunjukkan peradangan di sekeliling tubulus [9]. Pada individu dewasa, lesi melanisasi teramati pada hepatopankreas bagian proksimal. Lesi ini akan menjadi nekrosis dan mengganggu fungsi hepatopankreas hingga akhirnya terjadi perlambata pertumbuhan bahkan kematian [9]
Metode Diagnosa
Diagnosa dilakukan secara mikrobiologi dengan menumbuhkan bakteri pada media TCBS [1]. Pada SEM, koloni vibrio terlihat secara spesifik pada bagian alat gerak dan mulut [2]. Swarming bakteri dapat teramati pada hemocoel dan udang yang sekarat [3]. Pengamatan dengan mikroskop teramati bakteri motil dalam jumlah banyak [4]. Pengamatan histologi dapat teramati bakteri berbentuk batang pada jaringan. Metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit kunang adalah secara serologi (FAT, ELISA, dan aglutinasi). Metode PCR dapat mendeteksi gen toxR dan hemolisin. Ambang batas bakteri luminous pada hepatopankreas adalah 104 CFU/ hepatopankreas dan batas amannya adalah 102 CFU/hepatopankreas [9]
Pencegahan dan PengendalianDiagnosa dilakukan secara mikrobiologi dengan menumbuhkan bakteri pada media TCBS [1]. Pada SEM, koloni vibrio terlihat secara spesifik pada bagian alat gerak dan mulut [2]. Swarming bakteri dapat teramati pada hemocoel dan udang yang sekarat [3]. Pengamatan dengan mikroskop teramati bakteri motil dalam jumlah banyak [4]. Pengamatan histologi dapat teramati bakteri berbentuk batang pada jaringan. Metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit kunang adalah secara serologi (FAT, ELISA, dan aglutinasi). Metode PCR dapat mendeteksi gen toxR dan hemolisin. Ambang batas bakteri luminous pada hepatopankreas adalah 104 CFU/ hepatopankreas dan batas amannya adalah 102 CFU/hepatopankreas [9]
Antibiotik yang dapat digunakan untuk penanganan penyakit kunang
antara lain Chloramphenicol 1-2ppm, erythromycin 1,5ppm [1], nitrofurans
(furazolidone, nitrofurazon, nitrofurantion dan prefuran) 25ug/ml [2] (catatan:
beberapa jenis antibiotik dilarang penggunaannya pada komoditas perairan).
Pemberian fitoplankton Skeletonema costatum, Chlorella dapat menekan pertumbuhan bakteri ini [1]. Manajemen
dan sanitasi budidaya harus diperbaiki untuk mengontrol penyakit. Indukan
dengan larva yang terindikasi penyakit kunang juga harus dipisahkan segera.
Pakan artemia yang diberikan disarankan disterilisasi sebelum digunakan.
Klorinasi dan sanitasi air lainnya seperti radiasi dan filtrasi dilakukan untuk
menghindari kontaminasi pada air [2].
Dosis klorin yang diberikan adalah 200ppm selama 1 jam. Air dapat
dilakukan penggantian sebanyak 80% per hari dengan filter pasir atau UV. Dasar
tangki disarankan untuk dibersihkan dari kotoran [3]. Sebagai tambahan
imunostimulan, udang dapat diberikan vitamin C 100ppm dalam pakan selama 3 hari
atau 2 gram/25kg udang/hari selama 5 hari [6]. Pada telur, pegendalian dapat
dilakukan dengan membilas telur menggunakan iodin, formaldehid [7], ataupun
deterjen (20ppm selama 2 jam lalu dibilas) [8]. Alternatif lain program pengendalian
penyakit yang ini yakni kombinasi
pemberian prebiotik, probiotik, imunostimulan dan substansi non antibiotik.
Substansi non antibiotik disini seperti kupri sebanyak 40ppm [7]. Perubahan
sistem budidaya menjadi greenwater
culture system dipercaya memiliki faktor anti-luminous vibrio yang mencegah
vibriosis luminous. Rotasi komoditas budidaya juga dilaporkan dapat mencegah
penyakit ini [9].
Referensi
[1]. Arifin, Z., Handayani, R., Sri Murti Astuti, Noor Fahris. 2010.
Waspadai Penyakit pada Budidaya Ikan
dan Udang Air Payau. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau: Jepara.
2. Lipton, A.P. 1994. 5.
Shrimp Disease and Control. Dalam Raj, S.P. (Ed). 1994. Shrimp Farming
Techniques, Problems and Solutions. Palani Paramount Publication: Palani
3. Alavandi, S.V., Vijayan, K.K., Rajendran,
K.V. 1995. Shrimp Disease, Their Prevention and Control. Central Institute of
Brackishwater Aquaculture: Madras
4. Lavilla-Pitogo, C.R., Lio-Po, G.D.,
Cruz-Lacierda, E.R., Alapide-Tendencia, E.V., de la Pena, L.D. 2000. Diseases
of Penaeid Shrimps in the Philippines. Southeast Asian Fisheries Development
Center: Filipina
5. MPEDA/NACA. 2003. Shrimp Health Management Extension Manual. Marine
Products Export Development Authority (MPEDA): India
6. Herlina, N. 2009. Pengendalian
Hama Dan Penyakit Pada Pembesaran Udang. Departemen Pendidikan Nasional
7. Rao, V.D. Review Article: Vibriosis in Shrimp Aquaculture
8. Treece, G.D. dan Fox, J.M. 1999. Design, Operation and Training
Manual for an Intensive Culture Shrimp Hatchery. Diane Publishing
9. Lio-Po. G.D. dan Inui, Y. 2014. Health Management in
Aquaculture Second Edition. Southeast Asian Fisheries Development Center,
Aquaculture Department.
No comments:
Post a Comment