-->

atas

    Tuesday, 17 April 2018

    Keracunan H2S pada budidaya Udang

    H2S merupakan gas yang banyak diproduksi di tambak. Gas ini muncul di dasar tambak yang berlumpur, mengendap dan bergranul. H2S dapat menjadi penyebab utama kematian udang atau abnormalitas setelah hujan lebat, kerusakan plankton, panen parsial, pengeluaran lumpur atau penyiponan, perubahan cuaca, selama 30-40 hari pemeliharaan dan setelah 60 hari pemeliharaan [1]. Hidrogen Sulfida (H2S) terbentuk dalam jumlah besar pada tambak udang intensif dimana pemberian pakan secara intensif memicu akumulasi detritus organic, sedimen anoksia, dan pembentukan H2S. Di tambak udang, H2S ada di sedimen anaerob. Bila sedimen ini terangkat, H2S akan masuk ke kolom air. H2S dapat diproduksi oleh bakteri tertentu sebagai produk dari metabolism anaerob. Di air, H2S dipecah menjadi H2S, HS-, dan S+. Pemecahan ini dipengaruhi oleh pH serta range salinitas dan suhu yang lebar [2]

    Hospes: Udang windu, udang vaname [1]
    Faktor Predisposisi/ Faktor pendukung
    Toksisitas H2S bergantung pada tiga paramaeter yaitu pH, suhu, dan DO. H2S akan muncul pada kondisi anaerob. Tambak dengan dasar berpasir dan terlalu dalam dengan oksigen yang kurang memadai akan memicu produksi H2S. Pada kasus lain, produksi H2S disebabkan oleh konsentrasi bahan organic yang tinggi. Plastik HDPE yang melapisi tambak tidak memiliki oksigen di bawahnya. Hal ini akan memicu luapan H2S  ketika bahan organic merembes melalui pelapis. Tambak yang pernah mengalami gangguan jumlah plankton dan tinggi sampah pakan dengan pH rendah dan tinggi bahan organic akan memicu pelepasan H2S [1].

    Gejala Klinis
    Udang dengan keracunan H2S menunjukkan gejala klinis hipoksia. Bau seperti telur busuk akan menyeruak ketika kadarnya mencapai 2-5ppb [2]. Beberapa gejala klinis lain yang muncul dipengaruhi oleh toksisitas H2S antara lain [1]:
    a. Sindrom cangkang lunak  paparan H2S jangka panjang yang memicu stress dan rendahnya tingkat konsumsi udang
    b. Insang hitam  disebabkan oleh paparan H2S ketika udang mencari makan di dasar tambak
    c. Abnormalitas warna tubuh dan insang stress setelah paparan H2S jangka panjang
    d. Kematian disertai moulting
    e. Udang tidak mau makan di pagi hari di pagi hari kadar pH, oksigen rendah dan H2S tinggi dapat mempengaruhi konsumsi
    f. Berak putih (WFD) H2S dapat mengiritasi jaringan lunak udang di lambung dan mengakibatkan pelepasan lemak serta mucus sebagai respon untuk melepaskan toksin (WFD juga disebabkan oleh hal-hal lain)
    g. Terdeteksi bau telur busuk  Gas H2S menyebabkan gelembung di tengah tambak. Air menjadi berwarna hitam dengan bau telur busuk
    h. Blooming fitoplankton secara mendadak  H2S menyebabkan pelepasan fosfat ke dalam air sehingga fitoplankton akan tumbuh secara cepat dalam 2-3 hari
    i. Kadar ammonia dan nitrit yang tinggi  bakteri nitrifikasi dihancurkan oleh H2S [1]

    Metode Diagnosa
    Pengukuran kadar H2S membutuhkan suatu metode laboratorium. Di tambak, pengukuran H2S dapat menggunakan kit untuk mengukur total sulfide. Estimasi konsentrasi sulfidemembutuhkan data suhu dan pH. Namun secara awam, keberadaan H2S dapat dideteksi dari bau yang kuat seperti telur busuk [4]

    Tolerasi terhadap H2S
    Kadar toksik dimana udang rentan terhadap H2S adalah 10-200ppb. Paparan subletal dapat berdampak negative pada udang [2]. Udang akan mati jika terpapar konsentrasi 4ppm [3]

    Pencegahan
    Guna mencegah keracunan H2S, petambak harus memperhatikan beberapa catatan berikut ini:
    a. Kadar DO harus selalu di atas 3 ppm dari awal tebarr hingga panen
    b. Memonitor kadar bahan organic dengan baik
    c. Menghindari melakukan budidaya di tanah berpasir atau gemburb atau di area dengan asam sulfat
    d. Memeriksa jumlah bakteri dengan TCBS, asal sampel 2-5 cm dari endapan
    e. pH harus selalu dalam kisaran 7.8 – 8.3 selama budidaya (rentang kurang dari 0.4)
    f. Selalu berhati-hati selama hujan lebat dan luapan plankton [1]
    g. Pada tambak, pengeringan secara berkala dasar tambak lalu membiarkan tanahnya terpapar matahari hingga mengeras dan berkerak (pecah-pecah) serta kering [3]

    Pengendalian
    I. Pada kasus hujan lebat
    Hujan mengakibatkan suhu, pH, dan DO turun, begitupula dengan komposisi mineral dan alkalinitas. Petir dan angin juga menyebabkan stress pada udang dan memicu udang berkumpul di dasar tambak. Berikut ini adalah tindakan yang harus dilakukan:
    a. Tidak melakukan pemberian pakan saat kondisi hujan
    b. Mengecek kondisi pH dan mengaplikasikan kapur bila perlu
    c. Aerator harus selalu menyala
    d. Membuang air tawar sesegera mungkin. Menghindari air luapan masuk ke dalam tambak
    e. Menyiapkan mineral dan garam yang siap dicampur dengan pakan
    f. Memberikan aplikasi untuk mengontrol bakteri pembentuk H2S

    II. Gangguan plankton
    Saat plankton mengalami gangguan, pH akan turun, bahan organic meningkat seketika menyebabkan kenaikan kebutuhan oksigen. Gas toksik akan dilepaskan dan bakteria akan mengalami lonjakan jumlah. Langkah yang harus diambil:
    a. Mengurangi pakan 50-60%
    b.Mengaplikasikan kapur untuk mengontrol pH dan menggumpalkan plankton yang mati
    c. Aerasi untuk mengumpulkan bahan organic di tengah tambak
    d. Penggantian air dengan menyipon keluar endapan
    e.Aplikasi bahan untuk mencerna bahan orgik untuk mensuspensikan partikel
    f. Aplikasi untuk mengontrol H2S

    Apabila gejala klinis akibat H2S terdeteksi di tambak, tindakan yang harus dilakukan:
    a. Mengurangi pakan 30-40% selama 3 hari hingga kondisi kembali normal
    b.Meningkatkan kadar DO dengan cepat (perhatikan perubahan arus endapan saat meletakkan aerator baru)
    c. Mengaplikasikan kapur untuk meningkatkan pH 0.5 atau lebih dari 7,8
    d.Mengaplikasikan mikroorganisme yang dapat memakan H2S seperti Paracoccus pantothropus. [1]
    e.Pemberian potassium permanganate ke dalam air 6-8 kali lebih banyak daripada konsentrasi H2S
    f. Sodium nitrat ditambahkan untuk menjaga oksigenasi tanah-air dan mengurangi difusi H2S ke air
    g. Komponen besi (Fe) sebanyak 1kg/m2 atau lebih dapat mempresipitasi H2S dalam pori-pori sedimen sebagai FeS
    h. Probiotik juga diklaim mampu menurunkan resiko toksisitas sulfide

    Referensi
    1. Panakorn, S. 2016. H2S Toxicity – The Silent Killer. Aqua Culture March-April 2016 Volume 12 number 2
    2. Brock, J.A. dan Main, K.L. 1994. A Guide to The Common Problems and Diseases of Cultured Penaeus vannamei. The Oceanic Institute: Honolulu
    3. Kontara, E.K. Part II- Lecture Notes: Shrimp Culture Management Techniques. Report of Training Course of Shrimp Culture FAO
    4. Boyd, C.E. 2014. Hydrogen Sulfide Toxic, But Manageable. global aquaculture advocate

    No comments:

    Post a Comment