Nama lain: bercak putih oleh
bakterial
Hospes
Penaeus monodon [3]
Etiologi/ penyebab
Gangguan pada pergantian kulit (moulting) sehingga bakteri organisme
fouling seperti Chinoclastic
bacteria dapat tumbuh [1]. Pada kasus bacterial white spot, banyak
ditemukan bakteri bacilliform dan tingginya total plate count bakteri
mengindikasikan B. subtilis menjadi agen penyebab utama. Bakteri lain F.
odoratum dan Shewanella putrifacient dapat menjadi penyebab sekunder
[2]. Vibrio cholera terkadang juga terisolasi dalam jumlah signifikan.
Pada tambak udang di Thailand, kasus bercak putih serupa juga ditemukan akibat
paparan pH dan alkalinitas tanpa adanya virus WS ataupun kolonisasi
bakteri. Kurangnya informasi mengenai
agen penyebab dan kemungkinan infeksi sekunder bakteri masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut [3].
Epizootiologi
Pertama kali kasus Bacterial White Spot ditemukan di Malaysia
pada tahun 1998. Pada bacterial white spot kematian tidak terlalu tinggi. Sangat
mungkin penyakit Bacterial white spot ini
menyebar luas sebab ada kemungkinan kesalahan diagnose bercak putih dimana
dianggap kasus tersebut adalah WSSV. Data lain yang dikumpulkan oleh Wang et al
(2000) juga menyebutkan bahwa Bacterial
White Spot juga ditemukan di Indonesia, Srilanka, Thailand, dan Arab Saudi
[2].Penularan utamanya melalui air sebab bakteri berada di kutikula. Namun
demikian hal ini belum dilakukan pada studi tersendiri [3]. Bacterial White Spot bukanlah penyakit
sistemik dan lesinya biasanya muncul pasca molting. Infeksi yang berat
bersamaan dengan budidaya yang buruk akan memperlambat proses molting dan udang
rentan terhadap infeksi sekunder [2]
Faktor pendukung
Penggunaan probiotik yang mengandung B. subtilis diduga
menjadi pemicu munculnya BWS [2].
Gejala Klinis
Bercak putih kompak terlihat pada karapas dan seluruh tubuh namun
lebih teramati ketika kutikula dilepaskan dari tubuh. Bercak putih berbentuk
bulat dan tidak sepadat pada kasus WSD (White Spot Disease) [3]. Udang
terlihat kusam, banyak dijumpai fouling organism jenis fitoplankton dan
protozoa [1]. Selama fase awal infeksi, udang masih terlihat aktif, makan, dan
mampu melakukan moulting (dimana bercak putih dapat hilang). Namun, moulting
yang tertunda, perlambatan pertumbuhan, dan kematian yang rendah dilaporkan
pada udang yang terinfeksi berat [2].
Perubahan patologi
Secara makroskopis bacterial white spot jarang terlihat pada
kutikula udang hidup, namun dapat terlhat pada kutikula yang dikelupas. Bercak
putih yang terbentuk tidak padat dan memiliki cincin pembatas dengan atau titik
pusat berwarna putih. Di bawah mikroskop, bacterial white spot memiliki profil
serupa liken dengan tepi bergerigi, banyak terdapat garis radial, tingkatan
dari cincin homosentrik, dan area pusat yang berlubang dimana banyak kumpulan
bakteri [2]. Udang yang terinfeksi menunjukkan nekrosis dan disintegrasi
epidermis dan jaringan ikat, namun tidak mencapai ke otot [4]
Gb. Pemeriksaan wet mount White Spot Syndrome (a) dan Bacterial White Spot (b) pada eksoskeleton udang
(pict credit to M. Shariff and T. W. Flegel.)
|
Metode Diagnosa
Diagnosa awal dilakukan dengan melihat adanya bercak putih tanpa
kematian yang signifikan [3]. Secara wet mount dengan mengamati kulit dengan
bercak di bawah mikroskop dimana terlihat lingkaran dengan tepi tebal dan
bagian tengah mengalami erosi [1]. Histopatologi dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi virus WS. Pada BWS, bakteri akan menjadi penyebab utama adanya
kerusakan kutikula. SEM dapat digunakan untuk melihat banyaknya bakteri pada
kasus BWS. Tidak ada metode diagnose yang dapat dilakukan pada infeksi
subklinis. BWS biasanya merupakan infeksi patogen oportunis [3].
Patogenesis
B. subtilis dilaporkan mengekskresikan
enzim terutama lipase, amilase, glukanase, dan lipase. Hal ini mengindikasikan
bakteri memiliki kemampuan untu melisiskan kutikula udang yang mengandung
protein, kitin (sebuah polimer dari N-acetyl-glucosamine dan glucosamine),
kalsium karbonat, dan lipid. Meskipun BWS bukanlah infeksi sistemik dan lesi
biasanya menghilang setelah molting, infeksi berat bersama manajemen yang buruk
akan menghambat molting dan berdampak pada udang yang rentan terhadap infeksi
sekunder dengan tingkat kematian yang rendah. Kutikula udang berperan sebagai barrier
untuk bakteri dan efek osmotic. Epidermis kutikula berperan penting dalam
proses molting. Abnormalitas yang disebabkan oleh infeksi kutikula dan
epidermis dapat mengganggu regulasi osmotic dan aktifitas osmotic dengan dampak
yang serius [2]
Diagnosa banding
Penyakit dengan gambaran bercak putih juga dijumpai pada penyakit
WSSV. Namun keduanya dapat dibedakan sebab pada WSSV umumnya tidak ditemukan fouling
organism dan udang segera mati. Pada Bacterial White Spot udang
masih bertahan hidup dan sembuh dengan sendirinya saat moulting. Disamping itu
bercak putih pada WSSV bersifat internal karena gangguan deposit kalsium, pada bacterial
white spot bersifat eksternal akibat bakteri penghancur kitin di permukaan
luar kulit [1]. Pada WSSV bercak putih lebih padat dan dengan mudah terlihat
pada permukaan kutikula udang hidup [2]. Sedangkan pada BWS bercak putih jarang
terlihat pada udang hidup namun teramati pada kutikula yang molting[4]. Pada
WSSV bercak terdiri dari cincin marginal (terkadang tidak ada) dan area pusat
terdiri dari titik-titik melanisasi [2]. Sedangkan pada BWS bercak berwarna
kecoklatan, tidak berwarna, seperti liken dengan cinci homosentrik dengan
bagian pusat menghitam [4]. Udang dengan WSSV mengalami kematian yang tinggi
dalam 3-7 hari sedangkan pada BWS tidak ditemukan kematian signifikan [4]. Dengan
TEM dan mikroskop cahaya, pada BWS tidak terdapat adanya partikel WSSV ataupun
inklusi intranuklear. Dengan PCR, histopatologi, dan Mab-based immunodot assay
juga menunjukkan hasil negatif [2,4]. Sedangkan pada WSSV terdeteksi positif
pada pemeriksaan virus [4].
Pencegahan dan Pengendalian
Beberapa metode pemeliharaan mampu membantu menurunkan resiko BWS. Tingginya
kepadatan bakteri pada air budidaya harus dihindari. Penggantian air terlalu
sering sangat disarankan. Pemilihan probiotik mengandung Bacillus subtilis
secara sembarangan harus dihindari hingga diketahui ada keterkaitannya dengan
sindrom BWS. Telah ada sebuah klaim bahwa BWS pada tambak udang dapat
ditreatmen dengan kapur (CaO) 25ppm, namun masih dalam investigasi dan
penggunaan kapur tersebut beresiko meningkatkan pH air [3].
Referensi
[1]. Arifin, Z., Handayani, R., Sri Murti Astuti, Noor Fahris. 2010.
Waspadai Penyakit pada Budidaya Ikan
dan Udang Air Payau. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau: Jepara.
[2] Wang, G., K. L. Lee, M. Najiah, M. Shariff, M. D. Hassan. 2000.
New Bacterial White Spot Syndrome (BWSS) in Cultured Tiger Shrimp Penaeus
monodon and Its Comparison with White Spot Syndrome (WSS) Caused by Virus.
Disease of Aquatic Organism vol 41: 9-18.
[3]. Reantaso M G., B.,
Mcgladdery S E, Subangsinghe. 2001. Asian Diagnostic Guide to Aquatic
Animal Diseases. FAO Fisheries Technical Paper, No. 402, supplement 2. Food
and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Rome, Italy, 240 pp.
4. Sahoo, A.K., Patil, P., Shankar, K.M. 2005. White spots? A loaded
question for shrimp farmers. CURRENT SCIENCE, VOL. 88, NO. 12, 25 JUNE 2005
No comments:
Post a Comment