-->

atas

    Thursday, 25 January 2018

    Bacterial White spot (BWS)


    Nama lain:  bercak putih oleh bakterial

    Hospes

    Penaeus monodon [3]

    Etiologi/ penyebab

    Gangguan pada pergantian kulit (moulting) sehingga bakteri organisme fouling  seperti Chinoclastic bacteria dapat tumbuh [1]. Pada kasus bacterial white spot, banyak ditemukan bakteri bacilliform dan tingginya total plate count bakteri mengindikasikan B. subtilis menjadi agen penyebab utama. Bakteri lain F. odoratum dan Shewanella putrifacient dapat menjadi penyebab sekunder [2]. Vibrio cholera terkadang juga terisolasi dalam jumlah signifikan. Pada tambak udang di Thailand, kasus bercak putih serupa juga ditemukan akibat paparan pH dan alkalinitas tanpa adanya virus WS ataupun kolonisasi bakteri.  Kurangnya informasi mengenai agen penyebab dan kemungkinan infeksi sekunder bakteri masih membutuhkan penelitian lebih lanjut [3].

    Epizootiologi

    Pertama kali kasus Bacterial White Spot ditemukan di Malaysia pada tahun 1998. Pada bacterial white spot kematian tidak terlalu tinggi. Sangat mungkin penyakit Bacterial white spot ini menyebar luas sebab ada kemungkinan kesalahan diagnose bercak putih dimana dianggap kasus tersebut adalah WSSV. Data lain yang dikumpulkan oleh Wang et al (2000) juga menyebutkan bahwa Bacterial White Spot juga ditemukan di Indonesia, Srilanka, Thailand, dan Arab Saudi [2].Penularan utamanya melalui air sebab bakteri berada di kutikula. Namun demikian hal ini belum dilakukan pada studi tersendiri [3]. Bacterial White Spot bukanlah penyakit sistemik dan lesinya biasanya muncul pasca molting. Infeksi yang berat bersamaan dengan budidaya yang buruk akan memperlambat proses molting dan udang rentan terhadap infeksi sekunder [2]

    Faktor pendukung

    Penggunaan probiotik yang mengandung B. subtilis diduga menjadi pemicu munculnya BWS [2].

    Gejala Klinis

    Bercak putih kompak terlihat pada karapas dan seluruh tubuh namun lebih teramati ketika kutikula dilepaskan dari tubuh. Bercak putih berbentuk bulat dan tidak sepadat pada kasus WSD (White Spot Disease) [3]. Udang terlihat kusam, banyak dijumpai fouling organism jenis fitoplankton dan protozoa [1]. Selama fase awal infeksi, udang masih terlihat aktif, makan, dan mampu melakukan moulting (dimana bercak putih dapat hilang). Namun, moulting yang tertunda, perlambatan pertumbuhan, dan kematian yang rendah dilaporkan pada udang yang terinfeksi berat [2].

    Perubahan patologi

    Secara makroskopis bacterial white spot jarang terlihat pada kutikula udang hidup, namun dapat terlhat pada kutikula yang dikelupas. Bercak putih yang terbentuk tidak padat dan memiliki cincin pembatas dengan atau titik pusat berwarna putih. Di bawah mikroskop, bacterial white spot memiliki profil serupa liken dengan tepi bergerigi, banyak terdapat garis radial, tingkatan dari cincin homosentrik, dan area pusat yang berlubang dimana banyak kumpulan bakteri [2]. Udang yang terinfeksi menunjukkan nekrosis dan disintegrasi epidermis dan jaringan ikat, namun tidak mencapai ke otot [4]
    Gb. Pemeriksaan wet mount White Spot Syndrome (a) dan Bacterial White Spot (b) pada eksoskeleton udang 
    (pict credit to M. Shariff and T. W. Flegel.)


    Metode Diagnosa

    Diagnosa awal dilakukan dengan melihat adanya bercak putih tanpa kematian yang signifikan [3]. Secara wet mount dengan mengamati kulit dengan bercak di bawah mikroskop dimana terlihat lingkaran dengan tepi tebal dan bagian tengah mengalami erosi [1]. Histopatologi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi virus WS. Pada BWS, bakteri akan menjadi penyebab utama adanya kerusakan kutikula. SEM dapat digunakan untuk melihat banyaknya bakteri pada kasus BWS. Tidak ada metode diagnose yang dapat dilakukan pada infeksi subklinis. BWS biasanya merupakan infeksi patogen oportunis [3].



    Patogenesis

    B. subtilis dilaporkan mengekskresikan enzim terutama lipase, amilase, glukanase, dan lipase. Hal ini mengindikasikan bakteri memiliki kemampuan untu melisiskan kutikula udang yang mengandung protein, kitin (sebuah polimer dari N-acetyl-glucosamine dan glucosamine), kalsium karbonat, dan lipid. Meskipun BWS bukanlah infeksi sistemik dan lesi biasanya menghilang setelah molting, infeksi berat bersama manajemen yang buruk akan menghambat molting dan berdampak pada udang yang rentan terhadap infeksi sekunder dengan tingkat kematian yang rendah. Kutikula udang berperan sebagai barrier untuk bakteri dan efek osmotic. Epidermis kutikula berperan penting dalam proses molting. Abnormalitas yang disebabkan oleh infeksi kutikula dan epidermis dapat mengganggu regulasi osmotic dan aktifitas osmotic dengan dampak yang serius [2]



    Diagnosa banding

    Penyakit dengan gambaran bercak putih juga dijumpai pada penyakit WSSV. Namun keduanya dapat dibedakan sebab pada WSSV umumnya tidak ditemukan fouling organism dan udang segera mati. Pada Bacterial White Spot udang masih bertahan hidup dan sembuh dengan sendirinya saat moulting. Disamping itu bercak putih pada WSSV bersifat internal karena gangguan deposit kalsium, pada bacterial white spot bersifat eksternal akibat bakteri penghancur kitin di permukaan luar kulit [1]. Pada WSSV bercak putih lebih padat dan dengan mudah terlihat pada permukaan kutikula udang hidup [2]. Sedangkan pada BWS bercak putih jarang terlihat pada udang hidup namun teramati pada kutikula yang molting[4]. Pada WSSV bercak terdiri dari cincin marginal (terkadang tidak ada) dan area pusat terdiri dari titik-titik melanisasi [2]. Sedangkan pada BWS bercak berwarna kecoklatan, tidak berwarna, seperti liken dengan cinci homosentrik dengan bagian pusat menghitam [4]. Udang dengan WSSV mengalami kematian yang tinggi dalam 3-7 hari sedangkan pada BWS tidak ditemukan kematian signifikan [4]. Dengan TEM dan mikroskop cahaya, pada BWS tidak terdapat adanya partikel WSSV ataupun inklusi intranuklear. Dengan PCR, histopatologi, dan Mab-based immunodot assay juga menunjukkan hasil negatif [2,4]. Sedangkan pada WSSV terdeteksi positif pada pemeriksaan virus [4].



    Pencegahan dan Pengendalian

    Beberapa metode pemeliharaan mampu membantu menurunkan resiko BWS. Tingginya kepadatan bakteri pada air budidaya harus dihindari. Penggantian air terlalu sering sangat disarankan. Pemilihan probiotik mengandung Bacillus subtilis secara sembarangan harus dihindari hingga diketahui ada keterkaitannya dengan sindrom BWS. Telah ada sebuah klaim bahwa BWS pada tambak udang dapat ditreatmen dengan kapur (CaO) 25ppm, namun masih dalam investigasi dan penggunaan kapur tersebut beresiko meningkatkan pH air [3].

    Referensi

    [1]. Arifin, Z., Handayani, R., Sri Murti Astuti, Noor Fahris. 2010.  Waspadai Penyakit pada Budidaya Ikan dan Udang Air Payau. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau: Jepara.

    [2] Wang, G., K. L. Lee, M. Najiah, M. Shariff, M. D. Hassan. 2000. New Bacterial White Spot Syndrome (BWSS) in Cultured Tiger Shrimp Penaeus monodon and Its Comparison with White Spot Syndrome (WSS) Caused by Virus. Disease of Aquatic Organism vol 41: 9-18.

    [3]. Reantaso M G., B.,  Mcgladdery S E, Subangsinghe. 2001. Asian Diagnostic Guide to Aquatic Animal Diseases. FAO Fisheries Technical Paper, No. 402, supplement 2. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Rome, Italy, 240 pp.

    4. Sahoo, A.K., Patil, P., Shankar, K.M. 2005. White spots? A loaded question for shrimp farmers. CURRENT SCIENCE, VOL. 88, NO. 12, 25 JUNE 2005

    No comments:

    Post a Comment