Nama lain: cotton wool disease [9]
Etiologi/ penyebab: Jamur Saprolegnia.sp, termasuk ke dalam oomycetes, family saprolegniaceae. Jamur ini memiliki banyak cabang dan miseliumnya tidak bersepta. Struktur reproduksinya terpisah antara dari hifa somatic oleh adanya septa. Dan reproduksi aseksualnya dengan zoospore biflagellata [2]
Hospes : ikan air tawar, umumnya ikan mas, gurame, tawes, gabus, lele [1]
Stadium rentan : telur [1]
Epizootiologi:
Kasus epizootik jamur ini dijelaskan pada
abad ke 19 di Inggris. Gelombang kematian besar baru terjadi di Eropa Barat
pada tahun 1970an dan 1980an pada kasus
Ulcerative Dermal Necrosis (UDN) [3]. Jamur ini tersebar di lingkungan perairan
tawar dan laut (salinitas <2,8%) [2]. Infeksi jamur umumnya merupakan
infeksi sekunder yang terjadi pada infeksi bacterial atau parasit [1]. Penularan
penyakit ini melalui air oleh zoozpora biflagellate yang infeksius. Infeksi
sitemik pada ikan budidaya terjadi akibat memakan koloni hifa fungi [9]. Jamur
saprolegnia ini juga terdapat pada ikan rucah, pakan ikan, bahan organic, dan
peralatan budidaya. Spora dapat dilepaskan dari permukaan tubuh dan karkas ikan
terinfeksi. Beberapa saprolegnia dapat bertahan selama beberapa tahun di
sedimen air [10]
Siklus
Hidup
Perkembangan aseksual diawali dengan
pembentukan sporangium (spora aseksual) di bagian ujung se pada permukaan tubuh
hospes. Setelah saatnya tiba zoospora akan dilepaskan. Zoospora berenang
mencari ikan sebagai inang untuk menempel. Zoospora mengeluarkan zoospore kedua
yang infektif. Pada beberapa hal, jamura kan membentuk oogonium yang berlanjut
dengan perkembangan seksual [5].
Faktor pendukung
Infeksi mudah terjadi bila ada luka,
kondisi suhu turun, dan ikan mengalami stress [1]. Kadar oksigen yang rendah,
kadar ammonia yang tinggi, dan bahan organic yang tinggi akan meningkatkan
derajat infeksi [4].
Gejala Klinis
Gejala
dapat dengan mudah teramati dengan adanya sekumpulan benang halus (hifa)
yang terlihat seperti kapas. Gambaran ini terlihat jelas di bagian kepala,
tutup insang, dan sekitar sirip [1]. Lokasi di kepala biasanya merupakan
infeksi sekunder UDN. Pada ikan lele kebanyakan lesi di kulit dan insang [2]
Pada telur akan tampak seperti tertutup kapur [1]. Pada benih, saprolegnia
berada di peritoneum, Sedangkan pada tokolan jamur ada di organ dalam-usus. Lesi
awal terlihat bercak terlokalisir (fokal) berwarna kelabu-putih pada kulit,
hifa yang serupa benang kapas meluas membuat bentukan sirkuler kemudian radial
dan menyatu serta berwarna abu-bau gelap atau coklat pada stadium akhir. Waktu
yang dibutuhkan jamur untuk berkembang bervariasi [2]. Saprolegnia dapat masuk ke tubuh ikan
melalui luka. Jamur ini juga dapat menginfeksi saluran pencernaan ketika ikan
memakan pakan atau bahan yang mengandung jamur saprolegnia. Jamur akan
melubangi dinding usus dan mencapai organ dalam melalui peredaran darah. Bereproduksi,
dan menyebar ke seluruh tubuh [10].
Area radang
dekat dengan sirip pectoral (Earle dan Hinz, 2014)
|
Perubahan patologi
Secara histologi terdapat adanya infeksi
fokal yang menyerang bagian stratum spongiosum dermis hingga epidermis lalu
menyebar dan mengakibatkan ketidakseimbangan cairan dan kegagalan sirkulasi
perifer (shock) akibat ketidakmampuan menjaga volume darah yang bersirkulasi.
Pada kasus kronis, miselium masuk ke dermis di antara plane pacial intermycotomal.
Infeksi sistemik sangar jarang. Lesi nekrosis pada spina akan memunculkan
gejala syaraf dan oklusi myceliad trombotik pembuluh darah. Banyaknya hifa yang
ada di permukaan kulit akan memerangkap debris seluler (surface mat)
sehingga mengakibatkan degenerasi jaringan (nekrosis dermal superficial dan
edema, nekrosis myofibril makin dalam dan meluasnya hemoragi). Respon radang
pada infeksi saprolegnia dengan gejala respirasi ringan terjadi tanpa
kontaminasi bakteri [2]
Patogenesis
Saprolegnia makan dengan cara
mengeluarkan enzim pencernaan ke lingkungannya. Enzim ini emrombak sel dan
jaringan makanan jamur sehingga jamur dapat menyerap nutrient seperti protein
dan karbohidrat. Jamur ini tidak menimbulkan kematian namun kondisi ikan
melemah, nafsu makan berkurang, kurus, dan akhirnya mati. Pada telur yang tidak
dibuahi infeksi dapat menular ke telur yang dibuahi dan berdampak pada
terhambatnya pernafasan telur dibuahi sehingga telur mati atau tidak menetas
[5].
Metode Diagnosa
Metode sederhana dengan pengamatan gejala
klinis dan preparat basah mikroskopis. Metode lain bisa dengan histopatologi
[3] atau menggunakan SDA (Saburaud Dextrose Agar)[2] potato atau cornmeal agar
[8]
Prognosis
Ketika infeksi eksternal meluas dan
melibatkan insang, kematian hospes dapat disebabkan oleh kegagalan sirkulasi
dan ketidakseimbangan cairan [8].
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan dilakukan dengan menjaga
kebersihan air budidaya. Kualitas air
terutama ammonia juga harus dijaga. Hindari juga perlakuan yang menimbulkan
luka pada ikan [5]. Berikut adalah beberapa cara pengendalian infeksi
saprolegnia.
Bahan / Obat
|
Stadium
|
Dosis
|
Aplikasi
|
Keterangan
|
Betadine 1%1
|
telur
|
-
|
Rendam
10 menit
|
|
Paraffin cair3
|
Benih
|
|||
Kalium permanganat5
|
Ikan
|
10ppm
|
Oles
(untuk jumlah sedikit
|
|
ikan
|
Rendam
|
|||
Formalin 10%5
|
ikan
|
1,5-2cc/
liter air
|
Rendam
selama 15 menit
|
|
ikan
|
200ppm
|
Rendam selama 2 jam
|
||
Formalin 37%
|
telur
|
250mg/L
|
Perendaman
|
Pencegahan
|
Garam5
|
ikan
|
400mg/m3
|
Rendam
|
Saluran pembuangan
ditutup, diulang 3 kali
|
ikan
|
20mg/L
air
|
Rendam
|
||
Malachite green
|
TIDAK BOLEH
DIPERGUNAKAN, TOKSIK BAGI MANUSIA
|
|||
Hidrogen peroksida (H2O2) (100% bahan aktif)
|
telur
|
250-500ml/L
|
Perendaman
15menit
|
Pencegahan.
Keefektifan bergantung kualitas air, suhu, dan populasi Saprolegnia.sp.
Flow
through
|
telur
|
1000ml/L
|
Perendaman
|
||
ikan
|
25mg/L
|
Perendaman
|
||
Campuran sodium dan calcium
chlorida
|
telur
|
Perbandingan 26:1,
dosis 20gram/L
|
Perendaman selama 1
jam, 3 kali seminggu
|
|
Air laut
|
Flushing
2-3 jam selama 5 hari berturut-turut hingga 7-10 hari
|
|||
ozone
|
0,01-0,2 ppm
|
|||
glukan
|
0,5mg/mL
|
Sumber: [5], [7]
Referensi
1. Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta 2. Tung, M.C. Fish and Shrimp Disease and Their Control.
3. Rodger, H.D. 2010. Fish Disease Manual. Marine Institute and Marine Research Sub Programme of The National Development Plant
4. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
5. Afrianto, E., Evi Liviawaty, Zafran Jamaris, Hendi. 2015. Penyakit Ikan. Penebar Swadaya: Jakarta Timur
6. Nuryati, S., Suparman, M.A., Hadiroseyani, Y. 2008. Penggunaan Ekstrak Daun Paci-paci Leuca.sp untuk Pencegahan Penyakit Mikotik pada Ikan Gurame Osphronemus gourami. Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(2): 205–212 (2008)
7. Ali, S.M., Eevense, O., Skaar, I. 2015. Recent advances in the mitigation of Saprolegnia infections in freshwater fish and their eggs. The Battle Against Microbial Pathogens: Basic Science, Technological Advances and Educational Programs (A. Méndez-Vilas, Ed.)
8. Nuryati, S., Aulia, N. Rahman. 2015. Efektivitas ekstrak batang Musa paradisiaca untuk pengendalian infeksi Saprolegnia sp. pada larva ikan gurami. Jurnal Akuakultur Indonesia 14 (2), 151–158 (2015)
9. Anonim.Saprolegniasis-Cotton Wool Disease.
10. Aquaculture Fisheries Division. 2009. Prevention and Treatment of Fish Diseases. Good Aquaculture Practice Series 4
No comments:
Post a Comment