Nama lain: Enterocytozoon hepatopenaei (EHP)
Hospes : P. monodon, P. vannamei, P.stylirostris [1], P. japonicus,P. meruuiensis [11] . Spesies payau dan laut serta krustasea lainnya rentan terhadap parasit ini [1].
Etiologi/ penyebab:
Enterocytozoon hepatopenaei, sporanya
kecil ( panjang 1µm) [1]. Parasit ini merupakan parasite obligat intraseluler
[2]. Karakteristik parasit dan pemberian nama parasit yang berasal dari udang
windu dari Thailand ini pada tahun 2009 dilakukan oleh Tourtip [11]
Epizootiologi
Pertama kali kasus microsporidia tak bernama
ditemukan pada udang windu P. monodon yang mengalami
perlambatan pertumbuhan. Kasus tersebut dilaporkan di Malaysia tahun 1989.
Sedangkan di Australia kasus serupa terjadi pada P. japonicus pada
tahun 2001. EHP bukanlah patogen eksotik namun lebih bersifat patogen endemik
di Australasia [1]. Hasil PCR positif juga terdeteksi pada udang vaname yang
dibudidayakan di Indonesia dan India [3]. Di Indonesia, EHP telah terdeteksi
pada lokasi budidaya udang vaname seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera
Utara, Lampung, dan sumatera bagian selatan, Bali, Lombok, dan Sulawesi [14]
EHP dapat menyebar secara langsung melalui
kanibalisme. Penyebaran secara kanibalisme tidak memicu adanya WFS (White
faeces Syndrom) meskipun EHP dapat ditemukan pada udang terinfeksi
WFS. Kemungkinannya adalah EHP sebagai faktor pemicu timbulnya WFD [1]. Hewan
yang terinfeksi dapat melepaskan spora ke lingkungan melalui dekomposisi hewan
yang mati, kanibalisme, dll. Sel hepatopankreas dan sel epitel yang terinfeksi
secara umum mengalami peluruhan dan hancur dalam sistem pencernaan,
mengakibatkan spora dilepaskan bersama feses yang kemudian berdiam selama
beberapa saat tergantung kondisi lingkungan [11]. EHP juga dapat dijumpai pada
udang yang terinfeksi WSSV [3].
Penularan EHP terjadi secara horizontal [3].
Polychaeta dan moluska dapat terdeteksi positif parasite ini, namun tidak
diketahui apakah keduanya dapat bertindak sebagai karier. Artemia yang
dibekukan juga pernah terdeteksi positif parasite ini [1]. Kepiting dapat
menjadi sumber penularan bagi udang [2]. Berbeda dengan microsporidia lain
seperti Ameson (Nosema), Agmasoma (=Thelohania) Pleistophora
(=Plistophora), penularan EHP tidak membutuhkan hospes intermedier
[11]. Hal ini didukung dengan hasil dari studi Tang et
al (2016) yang menyatakan bahwa penularan EHP dapat terjadi secara langsung
baik melalui per os ataupun kohabitasi.
Penularan secara vertikal microsporidia pernah
dilaporkan pada beberapa crustacea seperti Cragonyx sp (aphipoda
air tanahh), melalui ingesti gonad. Oleh karena itu kemungkinan penularan
secara vertikal EHP dapat menjadi sebuah kemungkinan [11]. Hingga
saat ini belum diketahui prevalensi dari EHP. Studi dari Central
Institute of Brackishwater Aquaculture (CIBA) mengindikasikan kejadian
EHP sekitar 15,6% dari 100 pembudidaya. Sekitar 16% nya terdeteksi mengalami
perlambatan pertumbuhan dan sebesar 50% mengalami sindrom berak putih [11].
Mortalitas yang disebabkan oleh EHP cukup bervariasi, laporan dari pembudidaya
menunjukkan sebanyak 1-2% mortalitas harian [15].Faktor pendukung Stressor lingkungan dan atau patogen mungkin dapat mengubah homeostatic fisiologis ketahanan udang sehingga microsporidia dapat bereplikasi tanpa batasan [8]
Gejala Klinis Tidak ada gejala klinis menciri kecuali perlambatan pertumbuhan [1]. Infeksi parasite ini juga banyak dikaitkan dengan sindrom berak putih (WFD- white faeces disease) [7]. Pada sampel udang windu yang diamati oleh Anderson et al (1988), udang menghitam, berukuran kecil, letargi, tanpa ada lesi secara makroskopis.
Perubahan patologi
Parasit ini hanya menginfeksi sel epitel tubulus
hepatopankreas dari jaringan udang. Pada hepatopankreas secara histologi
teramati serupa badan inklusi basofilik sitoplasmik yang berisi sekumpulan
spora berbentuk elips hingga ovoid berukuran 1,1 ± 0,2 x 0,6-0,7 ±0,1µm.
Terkadang spora tersebut dapat lepas dari sel yang lisis ke dalam lumen tubulus
[3]. E. hepatopenaei menginfeksi semua tipe sel dari epitel
hepatopankreas kecuali sel F [12] Pengamatan dari Santhoskumar et al (2016)
menunjukkan adanya gambaran menciri EHP dimana plasmodium parasit ini
berkembang dalam vakuola HP. Mikrosporidia lain tidak masuk dalam vakuola dan
hanya berkembang pada sitoplasma saja. Perkembangan microsporidia EHP pada
vakuola terbagi menjadi dua stadium, stadium awal struktur plasmodium basofilik
padat dan fase akhir ditandai dengan spora yang masak berukuran1-1,2 µm x
0,5-0,6µm [10]. Plasmodium berbentuk multinuclear sedangkan spora terdiri dari
satu inti, 5-6 coil pada filament polar, vakuola posterior, anchoring disk yang
melekat pada filament polar, serta dinding padat electron [15]
Spora ini berupa struktur asidofilik yang dibatasi
vakuola dalam sitoplasma sel E, F, B, dan R. Tidak ada spora yang ditemukan di
sel epitel midgut dan hindgut ataupun sel jaringan dan organ lain[13]. Namun
demikian studi dari Tang et al (2016) menemukan hal yang tak biasa
dimana inklusi dari EHP ditemukan di sel epitel midgut [14]. Spora yang
masak juga dapat teramati dalam lumen HP. Tubulus HP yang terinfeksi EHP
terkadang dikelilingi oleh agregat hemosit [13] Studi lebih lanjut mengenai stadium sporogoni
dan perkembangan EHP pada sel hospes dijelaskan oleh Tourtip et al (2009).
Pada udang windu, sejumlah tubulus pada bagian proksimal
hepatopankreas berdilatasi dan dibatasi oleh sel epitel yang memipih. Lumen
tubulus terisi oleh debris granuler pucat atau sel nekrosis dan bentukan serupa
spora refraktil, oval, dan kecil. Lebih dari 40% sel hepatopankreas mengandung
bentukan serupa spora intrasitoplasmik. Spora ini berdifusi pada sitoplasma dan
tidak terdapat dalam vakuola. Beberapa tubulus yang memiliki bentukan serupa
spora dalam lumen mengalami nekrosis dengan enkapsulasi hemositik melanisasi multiple.
Edema dan peningkatan sejumlah hemosit pada jaringan interstitial merupakan
perubahan umum dari hepatopankreas yang terinfeksi [8]. Hepatopankreas yang
terinfeksi berat mengalami nekrosis disertai sloughing sel epitel tubulus,
degenerasi, dan akumulasi spora di lumen [6]. Pemeriksaan secara biokimiawi untuk EHP dengan
hemolim menunjukkan adanya peningkatan ezim AST (Aspartat Transaminase), ALT
(Alanin Transferase), dan ALP (Alkalin Phosphatase). Ketiganya merupakan
parameter umum untuk menunjukkan kerusakan pada hati. Pada EHP meningkatnya
ketiga enzim tersebut dapat disebabkan oleh kerusakan dan kematian sel
hepatopankreas [10]
.
Gb. Epitel tubulus HP terlepas dari membrana basalis. Di ruang antar tubulus terdapat gambaran serupa spora ( picture credit to Rajendran et al, 2015) |
Patogenesis
Parasit ini menginfeksi hepatopankreas (kelenjar pencernaan) kemudian membatasi jumlah nutrisi yang mampu diserap oleh hepatopankreas. Akibatnya, udang menjadi kelaparan sehingga timbul perlambatan pertumbuhan [9]
Parasit ini menginfeksi hepatopankreas (kelenjar pencernaan) kemudian membatasi jumlah nutrisi yang mampu diserap oleh hepatopankreas. Akibatnya, udang menjadi kelaparan sehingga timbul perlambatan pertumbuhan [9]
Metode Diagnosa
Nested PCR, In Situ Hibridisasi, LAMP, real time PCR dapat digunakan untuk deteksi EHP. Pengujian dapat menggunakan feses, indukan, PL, dan udang. Pengecekan juga dapat menggunakan smear hepatopankreas yang dilihat dengan mikroskop cahaya perbesaran 1000x [1]. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk mendeteksi penyebaran EHP baik secara percobaan maupun infeksi alami. Pada pemeriksaan histopatologi EHP sebagian besar ditemukan di hati dan sedikit di lambung, tidak pada organ yang lain. Namun demikian pada pemeriksaan PCR, EHP dapat terdeteksi pada semua organ termasuk jantung [10]. Penggunaan mikroskop untuk deteksi cepat EHP hanya dapat dilakukan apabila hewan menunjukkan infeksi berat pada HP [6]. Diakui bahwa deteksi EHP secara parasitologi konvensional sangatlah sulit, terlebih dengan ukuran spora yang sangat kecil. Jithendran et al (2015) mengembangkan metode parasitologi menggunakan sampel lapangan. Metode meliputi pengapungan (floatation) menggunakan larutan Sheather’s sugar atau sedimentasi menggunakan dietil eter/ formalin. Selanjutnya dilakukan pewarnaan trichrome, khusus untuk microsporidia. Metode Ryan-blue juga dapat digunakan untuk menghasilkan warna pink pada spora dan kebiruan untuk latar (debris). Metode yang terakhir dapat mendeteksi spora baik dengan infeksi secara ringan ataupun berat [7]
Diagnosa diferensial
Kasus pada udang yang disebabkan oleh microsporidia hanyalah Agmasoma
penaei yang ditemukan di udang P. monodon, P. merquensis, P. vannamei.
A. penaei ini ditemukan di otot dan jaringan ikat (termasuk jaringan
ikat hepatopankreas namun tidak pernah menginfeksi tubulus HP). Gambaran
makroskopis yang terlihat adalah perubahan warna serupa susu (milky) pada otot
akibat kumpulan spora microsporidia. Oleh karena itu penyakitnya sering disebut
dengan “cotton shrimp disease” atau “penyakit udang susu” di Amerika dan “white
back disease” di Thailand [1]. Perbedaan lainnya adalah A. penaei
disebarkan secara tidak langsung melalui hospes perantara [4].
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan EHP pada tahap pembenihan dan pembesaran
adalah tidak pernah menggunakan hewan tangkapan atau hewan hidup (Polychaeta, kerang,dll) sebagai pakan untuk indukan. Apabila tetap menggunakan, pakan harus dibekukan atau dipasteurisasi (pemanasan suhu 70oC selama 10 menit). Radiasi gamma juga dapat digunakan dengan pakan beku [1, 5]. Pada hatcheri, EHP dapat diduga dari post larva yang mengalami perlambatan pertumbuhan.Fasilitas baik pembenihan maupun pembesaran harus bersih. Hal itu dapat dilakukan dengan memindahkan udang dari hatcheri kemudian dengan 2,5% larutan sodium hidroksida (25gms NaOH/L air) dibersihkan dan dibilas setelah 3 jam. Perlakuan ini juga dilakukan untuk peralatan, filter, tandon, dan pipa. Setelah perlakuan dengan NaOH hatcheri didiamkan selama 7 hari dan dibilas dengan acidified chlorine (200ppm larutan klorin pH <4,5). Indukan ada baiknya untuk dicek untuk EHP [5].
Di tambak, terdapat dua hal yang harus diperhatikan untuk mengontrol EHP. Pertama adalah menggunakan benih bebas EHP. Dan yang kedua adalah persiapan tambak dengan baik, terutama pada tambak yang pernah mengalami kasus EHP. Spora EHP memiliki dinding yang tebal dan tidak mudah diinaktivasi. Bahkan klorin dosis tinggi juga tidak efektif. Pada tambak dengan dasar tanah dapat menggunakan CaO 6 ton/ha di sedimen yang telah kering (10-12cm) kemudian dibasahi untuk mengaktifkan kapur. Kondisi tersebut didiamkan selama 1 minggu sebelum dikeringkan atau dilakukan pengisian. Pasca pengapuran, pH akan naik menjadi 12 atau lebih selama beberapa hari dan kembali ke normal [5]. Karena EHP merupakan parasit yang membentuk spora, disinfeksi air dan identifikasi karier potensial dapat menjadi pertimbangan penting [13]
Referensi
1. Thitamadee, S., Anuphap Prachumwat, Jiraporn Srisala, Pattana
Jaroenlak, Paul Vinu Salachan, Kallaya Sritunyalucksana, Timothy W. Flegel,
Ornchuma Itsathitphaisarn. 2015. Review of Current Disease Threats for
Cultivated Penaeid Shrimp in Asia. doi: 10.1016/j.aquaculture.2015.10.028
2. Chiyansuvata, P., Chatangsi, C., M Chutmongkonkul, J Tangtrongpiros,
N Chansue. 2015. Molucular Biological screening of Enterocytozoon
hepatopenaei in Aquatic Macro Fauna in Pacific White Shrimp(l. vannamei) Pond. [Proceedings]
14th Chulalongkorn University Veterinary Science
3. Anonim. Disease of Crustaceans – Hepatopancreaic
Microsporidiasis caused by Enterocytozoon hepatopenaei (EHP). NACA
4.Tangprasittipap, A., Jirapom Srisala, Saisunee Chouwdee,
Montagan Somboob, Niti Chuchird, Chalor Limsuwan, Thinnarat Srisuvan, Timothy W
Flegel, Kallaya Sritunyalucksana. 2013. The Microsporidian Enterocytozoon
hepatopenaei is Not The Cause of White Faeces Syndrom in White Leg Shrimp
Penaeus (Litopenaeus) vannamei. BMC Veterinary research 2013 9:139
5. Sritunyalacsana, K., Piyachat Sanguanrut, Paul Vinu Salachan,
Siripong Thitamadee, Timothy W Flegel. Urgent Appeal to Control Spread of
The Shrimp Microsporidian Parasite Enterocytozoon hepatopenaei (EHP).
6. Rajendran, K.V., Saloni Shivam, P.Ezhil Praveena, J. Joseph
Sahaya Rajan, T. Sathish Kumar, Satheesha Avunje, V. Jagadeesan, S.V.A.N.V.
Prasad Babu, Ashish Pande, A. Navaneeth Krishnan, S.V. Alavandi, K.K.Vijayan.2016.
Emergence of Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) in farmed Penaeus (Litopenaeus)
vannamei in India. Aquaculture (2016), doi: 10.1016/j.aquaculture.2015.12.034
7. Jit
Hendran, K.P., P Ezhil Praveena, T Bhuvanesvar,
J Joseph Sahaya Rajan, V Jagadeesan, A Navaneeth Krishnan. 2015. An improved
microscopic method for the diagnosis of Enterocytozoon hepatopenaei in
shrimp farms. CIBA
8. Anderson, I.G., M. Shariff, G. Nash.
1989. A Hepatopancreatic Microsporidian in Pond-Reared Tiger Shrimp, Penaeus
monodon, from Malaysi. Journal of Invertebrate Pathology 53, (278-280)
9. Anonim. EHP Parasite
Threatens Shrimp Farm. Fis.com
10. Santhoshkumar, S., S Sivakumar, S Vimal, S Abdul Majeed, G Taju,
P Haribabu, A Uma, A S Sahul Hameed. 2016. Biochemical changes and tissue
distribution of Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) in naturally and experimentally
EHP-infected whiteleg shrimp, Litopenaeu vannamei (Boone, 1931), in India.
Journal of Fish Disease 2016 doi:10.1111/jfd.12530
11.Otta, S.K. P.K. Patil, K.P. Jithendran, K.V. Rajendran,
S.V. Alavandi, K.K. Vijayan. 2016. Managing Enterocytozoon hepatopenaei
(EHP), microsporidial infections in vannamei shrimp farming: An Advisory. CIBA
e-publication No.29; January 2016
12.Tourtip, S., Somjai Wongtripop,
Grant D. Stentiford, Kelly S. Bateman, Siriporn Sriurairatana, Jittipan
Chavadej, Kallaya Sritunyalucksana, Boonsirm Withyachumnarnkul. 2009. Enterocytozoon hepatopenaei sp. nov.
(Microsporida: Enterocytozoonidae), a parasite of the black tiger shrimp
Penaeus monodon (Decapoda: Penaeidae) Fine structure and phylogenetic
relationships. Journal of Invertebrate Pathology 102 (2009) 21–29, doi:10.1016/j.jip.2009.06.004
13. Biju, N., Sathiyaraj, G., Raj, M., Venu Shanmugam, Babu Baskaran, Umamaheswari Govindan, Gayathri Kumaresan, Karthrick Kannan Kasthuriraju, Thampi Sam Raj Yohannan Chellamma. 2016. High Prevalence Of Enterocytozoon hepatopenaei in Shrimp Penaeus monodon and Littopenaeus vannamei Sampled From Slow Growth Ponds in India. Disease of Aquatic Organisms Vol 120: 225-230 doi:10.3354/dao03036
14 Tang, KFJ., Han, J E.,
Aranguren, L.F., Brenda White-Noble, Margeaux M Schmidt, Pathrapol Piamsomboon,
Eris Risdiana, Bambang Hanggono. 2016. Densa Populations of The
Microsporidian Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) in Feces of Penaeus vannamei
Exhibiting White Faeces Syndrome and Pathways of Their Transmission to
Healthy Shrimp. journal of Invertebrate pathology 140(2016) 1-7
15
Tang, KFJ., Pantoja, CR., Rita M Redman., Jee Eun Han, Loc H Tran., Donald V
Lightner. 2015. Development of in Situ Hybridization and PCR Assay for The
Detection of Enterocytozoon hepatopenaei (EHP), a Microsporidian Parasite
Infecting Penaeid Shrimp. Journal of
Invertebrate Pathology 130 (2015) 37-41
No comments:
Post a Comment