-->

atas

    Sunday, 31 July 2016

    EARLY MORTALITY SYNDROME (EMS)/ ACUTE HEPATOPANCREATIC NECROTIC SYNDROME (AHPNS)/ ACUTE HEPATOPANCREATIC NECROTIC DISEASE (AHPND)

    Etiologi

    Strain unik Vibrio parahaemolyticus yang dapat memproduksi toksin yang bertanggungjawab pada patologi utama udang yang terpapar pada AHPND (VPAHPND) [4]. Isolat unik Vibrio parahaemolyticus (VP AHPND) ini berkolonisasi di lambung udang [8]. VPAHPND mengekspresikan toksin yang mengkode plasmid (PirVP) yang homolong dengan toksin biner Pir (Photorhabdus Insect- related). Toksin ini mengandung dua subunit PirAVP dan PirBVP, namun tidak seperti toksin biner Pir, V. parahaemolyticus PirB dapat menginduksi perubahan histopatologi tubulus hepatopankreas pada AHPND. Sedangkan PirA hanya menyebabkan sedikit perubahan histologi [9]

    Spesies rentan

    Udang usia 20-30 hari di tambak, pada postlarvae udang windu, black tiger shrimp, dan udang pasifik putih, Litopenaeus vannamei [2]. P.chinensis juga dilaporkan terinfeksi di China (NACA, 2012). Sepertinya spesies lain resisten atau kurang rentang terhadap EMS/ AHPND [5].

    Epizootiologi

    Pada awal tahun 2009, sebuah penyakit baru menyebabkan kerugian produksi terjadi di Cina bagian Selatan. Penyakit ini mulai meluas pada tahun 2010, dan tahun 2011 penyakit yang kemudian disebut dengan EMS ini terdeteksi di Vietnam dan Malaysia. EMS mencapai Thailand
    pada tahun 2012 [3]. Penyakit ini juga ditemukan di Meksiko [9]. EMS mengakibatkan kerugian pada daerah yang terinfeksi, selain itu juga berdampak pada tenaga kerja, kesejahteraan masyarakat, dan dunia pasar internasional [3]. Mortalitas dan morbiditas penyakit dapat mencapai 100% [9]. Penularan dapat terjadi melalui PL yang terkontaminasi, pakan alami (kerang, Polychaeta, daging cumi, dll). VP AHPND juga dapat terdeteksi di sedimen tambah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penyakit ini dapat masuk melalui sistem budidaya [8].
     
    Gb, Peta sebaran distribusi penyakit EMS/ AHPND (pict credit to Zorriezhra MJ dan Banaederakhshan, R., 2015)
    Faktor predisposisi
    Tak dipungkiri bahwa kejadian EMS dapat dipicu oleh postlarva yang lemah.  Toksin yang dilepaskan oleh bakteri vibrio akan merusak sel-sel hepatopankreas, dan udang usia muda ini akan dengan segera mati tak lama setelah ditebar [6]. Sumber air dengan salinitas rendah (<5-10ppt) dapat menurunkan prevalensi penyakit. Musim panas dan kering dari bulan April-Juli tampaknya menjadi puncak munculnya penyakit. Manajemen yang buruk, blooming alga, merupakan faktor yang dapat memicu munculnya AHPND di daerah endemic [9].

    Gejala Klinis
    Perubahan warna pucat hingga putih terjadi pada hepatopankreas, juga atrofi yang menyebabkan penyusutan ukuran organ 50% atau lebih. Pada fase akhir penyakit, garis-garis atau bintik hitam terlihat akibat deposisi melanin dari aktifitas hemosit yang terdapat di hepatopankreas [4]. NACA (2012) menambahkan bahwa hepatopankreas yang pucat hingga putih disebabkan hilangnya pigmen pada kapsula jaringan ikat. Cangkang melunak disertai perut yang kosong atau tanpa makanan. Hepatopankreas menjadi tidak mudah ditekan antara jari. Udang yang akan mati tenggelam di dasar.

    Gb. perubahan makroskopis udang vaname dengan EMS dimana hepatopankreas berwarna
    lebih pucat (pict credit to Lightner)

    Gb. Gambaran histopatologi hepatopankreas udang dengan EMS dimana terdapat
    sloughing epitel tubulus HP, peradangan hemosit disertai infeksi bakteri vibrio
    (pict credit to Lightner DVM)
    Perubahan Patologi
    Perubahan histopatologi ditandai dengan sloughing yang massif pada sel epitel tubulus hepatopankreas yang dimulai dari bagian tengah kemudian mengarah ke area embryonal (sel E). Perubahan ini teramati pada fase akut. Sloughing ini terjadi tanpa adanya patogen, mungkin saja sloughing tersebut didahului oleh kurangnya diferensiasi sel epitel tubulus dan agregasi hemosit kemudian memicu sloughing diikuti dengna septicemia bakteri hepatopankreas oleh infeksi bakteri sekunder [8]. Pada fase terminal ditandai dengan radang hemosit intratubular dan perkembangan infeksi bakteri sekunder yang massif yang terjadi terkait tubulus HP yang nekrosis dan sloughing [9]



    Metode pemeriksaan
    Metode pemeriksaan penyakit ini dapat dilakukan secara histopatologi, mikrobiologi, dan biologi molekuler [5]. Penggunaan TEM dan sekuensing juga dapat membantu diagnose penyakit [9]

    Diagnosa differensial
    Patologi degenerative hepatopankreas penyakit ini  memberikan kesan disebabkan oleh toksik. Lesi serupa juga dilaporkan pada hepatopankreas udang yang terpapar afltoksin B1 dan mitosis inhibitor benomyl [2]

    Pengendalian dan pencegahan
    Chaweepack et al (2015) dalam jurnal penelitiannya menyatakan bahwa ekstrak etanol lengkuas (laos) menghambat Vibrio.spp potensial dan menurunkan jumlah fungi. Ektrak etanol 4% adalah konsentrasi paling efektif untuk menurunkan semua spesies pathogen dari V. parahaemolyticus (EMS/AHPND).

    Zorriehzahra dan Banaederakhshan (2015) menguraikan beberapa catatan untuk pengobatan dan pencegahan pada hatcheri udang antara lain sebagai berikut:
    ·         Perhatikan manajemen kesehatan, air, dan pakan untuk menghasilkan post larva udang yang sehat dan berkualitas tinggi sebagai jalan pertama dalam mengontrol penyakit
    ·         Pengawasan berkelanjutan di berbagai bagian hatcheri dan larva udang untuk mendeteksi bakteri vibrio terutama V. parahaemolyticus untuk menurunkan lonjakan bakteri dan mencegah penyakit
    ·         Pengawasan kesehatan postlarva dan pemberian sertifikat oleh organisasi berwenang untuk keberadaan vibrio dan organisme lain serta pengawasan kualitasnya 
    ·         Perhatikan kemampuan untuk tumbuh lebih cepat dan perkawinan satu keturunan, penyebab penyakit sensitif terhadap produksi
    ·         Ablasi batang mata pada hatcheri meningkatkan kuantitas produksi namun menurunkan kualitas dan toleransi terhadap penyakit
    ·         Sangat direkomendasikan untuk hatcheri mencegah penularan dari pakan alami ke benih dengan menginaktivasi VP AHPND terlebih dahulu. Atau, dengan melakukan uji PCR untuk skrining VP AHPND pada pakan alami.

    Sementara untuk pembesaran udang berikut pencegahan dan pengobatannya
    ·         Melaksanakan secara menyeluruh prinsip persiapan tambak (pencucian, pengapuran, pengolahan, dll)
    ·         Sehubungan dengan tingginya kejadian penyakit pada pH air yang tinggi, penurunan atau pengawasan pH dapat dipertimbangkan sebagai sebuah strategi untuk pencegahan penyakit. pH 7,4 – 7,6 selama persiapan budidaya harus dipertahankan [7]
    ·         Penggunaan probiotik mengandung Bacillus pada tanah selama persiapan tambak dan selama periode budidaya untuk lingkungan asam mampu mengontrol penyakit.
    ·         Pemasukan post larva berkualitas tinggi dan sehat serta mempersiapkannya dari hatcheri yang bagus dan otentik
    ·         Menghindari kepadatan yang tinggi untuk mencegah penyakit dan menurunkan stres
    ·         Pengujian dan pengambilan sampel air dan tanah secara berkelanjutan untuk mendeteksi vibrio yang infeksius
    ·         Menggunakan immunostimulan dan pakan yang aman serta berkualitas tinggi untuk meningkatkan kekebalan udang
    ·         Menurunkan stres lingkungan dengan manajemen pakan dan air yang optimum
    ·         Menggunakan kolam penyimpanan air (tandon)
    ·         Menurunkan dan menjaga salinitas air (berdasarkan pengamatan kejadian menurun pada salinitas rendah)
    ·         Meggunakan aerasi di dalam tambak dan mencegah penurunan kadar oksigen dan stress.  Oksigen dipertahankan dalam kadar 4mg/L [7]
    ·         Melaporkan kepada institusi berwenang ketika terjadi kasus kematian selama 45 hari setelah penebaran agar dilakukan penngecekan dan pengambilan sampel udang yang mati
    ·         Pada kasus air yang berpenyakit maka harus dilakukan disinfeksi dengan klorin dosis tinggi serta udang yang mati disimpan pada suhu 60oC minimal 15 menit setelah pengambilan
    ·         Menggunakan tehnik bioflok secara signifikan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pertenakan yang terinfeksi
    ·         Menggunakan sistem polikultur (udang dan ikan laut penyaring makanan) dapat mencegah dari penyakit dan/ atau menaikkan tingkat kelulushidupan sistem yang terpengaruh
    ·         Pemberian probiotik dan pakan secara berlebihan selama sebulan awal pemeliharaan harus dihindari
    ·         Alkalinitas harus dijaga agar tidak lebih rendah dari 100mg/L (ppm) [7]

    Screening postlarva dapat dilakukan untuk menyisihkan udang yang lemah. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk screening post larva (Limsuwan:
    1.       Merendam nauplii dalam air yang telah diberi formalin 100ppm selama 1 menit sebelum dimasukkan ke dalam bak pembenihan.
    2.       Selama pembenihan, air lebih sering diganti untuk mengurangi jumlah bakteri vibrio jika probiotik tidak dapat mengontrol bakteri vibrio
    3.       Larva sebaiknya tetap dalam bak pembenihan hingga PL25, sebab selama tambahan waktu dari PL10-12 hingga PL25 benih yang lemah akan mati dan yang tersisa adalah post larva yang kuat (direkomendasikan apabila lokasi pembenihan berdekatan dengan pembesaran).

    Pada tambak yang mengalami kematian diduga akibat EMS, prof. Limsuwan memberikan saran dalam INFEHM (2013) sebagai berikut:
    a.       Menghentikan pemberian pakan sampai tidak ada kematian udang dan udang terlihat sehat (7-10 hari). Kemudian pakan diberikan secara bertahap.
    b.      Memberikan disinfektan untuk mengurangi bakteri patogen secara berkala
    c.       Pemberian kapur untuk mempertahankan pH 7,8 – 8 (di pagi hari)
    d.      Aerator harus selalu menyala tanpa pemberian mineral atau garam untuk meningkatkan mineral utama.

    Update 2016
    Di Panama, telah dikembangkan sebuah teknologi untuk mencegah outbreak EMS. Teknologi budidaya ini dilakukan tanpa penggunaan herbisida, pestisida, serta seluruh tanaman dan hewan berproduksi secara organic. Antibiotik dan bahan kimia juga tidak digunakan selama proses budidaya. Sistem ini menggunakan tambak linier dan kotoran udang beresirkulasi dalam sistem resirkulasi yang nantinya akan menjadi sumber makanan untuk tanaman dan ikan. Sistem ini tidak menggunakan penggantian air (zero water exchange system). Metode baru ini tidak berdampak terhadap lingkungan serta tidak ada pembuangan banyak bahan nutrisi dari udang melalui air [6].

    Daftar Pustaka
    1. Chaweepack, T., Boonyee Muenthaisong, Surachart Chaweepack, Kaeko Kamei. 2015. The Potential of Galangal (Alpinia galanga Linn.) Extract against the Pathogens that Cause White Feces Syndrome and Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) in Pacific White Shrimp (Litopenaeus vannamei.
    2. Lightner, D.V., R R. M. Redman, C. R. Pantoja, B. L. Noble, Loc Tran. 2012. Early Mortality Syndrome Affects Shrimp In Asia. global aquaculture advocate
    3. NACA. 2012. Diseases of Crustaceans Acute Hepatopancreatic Necrosis.
    4. Tran, L., Linda Nunan, Rita M. Redman, Donald V. Lightner, Kevin Fitzsimmons. 2013. EMS/AHPNS: Infectious Disease. global aquaculture advocate
    5. Zorriehzahra, M.J. dan Reza Banaederakhshan. 2015. Early Mortality Syndrome (EMS) as new Emerging Threat in Shrimp Industry. Advances in Animal and Veterinary Sciences Volume 3 | Special issue 2 | Page 64
    6. Intrafish Aquaculture. 2016. New Technology Aims to Prevent EMS Outbreak in Panama.  Magazine Q1 2016
    7. INFEHM. 2013. Cegah EMS Sebelum Mewabah. INFEHM Edisi 02- Th 1- Januari 2013
    8. Thitamadee, S., Anuphap Prachumwat, Jiraporn Srisala, Pattana Jaroenlak, Paul Vinu Salachan, Kallaya Sritunyalucksana, Timothy W. Flegel, Ornchuma Itsathitphaisarn. 2015. Review of Current Disease Threats for Cultivated Penaeid Shrimp in Asia. doi: 10.1016/j.aquaculture.2015.10.028
    9. OIE. 2015. Chapter 2.2.X: Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease. OIE Aquatic Animal Health Standards Commisssion



    1 comment:

    1. Perlu antisipasi peningkatan pencegahan, pengawasan masuknya media pembawa HPI/HPIK di entry point, optimalusasi penerapan biosecurity di Hachery dan support implementasi SOP budidaya di Tambak Udang sukses Sllu

      ReplyDelete