White Spot Syndrom Virus
Nama lain: Bercak putih, WSSV, Baculoviral Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (HHNBV), Rod Shaped Virus of Penaeus japonicus (RV-PJ), Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV), dan White Spot Baculovirus (WSBV)
Etiologi/ penyebab: genus
whispovirus, family nimaviridae termasuk virus dsDNA. Virus ini berbentuk
batang dan beramplop [1]
v Hospes: Penaeus monodon, P. indicus, P. japonicus, P.
chinensis, P. merguensis, P. aztecus, P. stylirostris, P. vannamei, P.
duorarum, P. setiferus, P. penicillatus, P. semisulcatus, P. curvirostris,
Metapenaeus ensis, udang air tawar (Macrobrachium idella, M. lamerrae),
kepiting air tawar (Paratelphusa hydrodomuos, P. pulvinata) [1]. Hingga
saat ini belum pernah ada laporan krustasea yang resisten terhadap penyakit ini
dan seluruh stadium udang dari telur hingga indukan rentan terhadap WSV [5].
Epizootiologi
Penyakit ini dilaporkan terjadi pertama kaliny di Cina dan
Cina daratan pada tahun 1991-1992. Pada tahun 1999, penyakit WSD ini sudah
meluas dan dilaporkan setidaknya di 9 negara yakni Amerika, Kolombia, Ekuador,
Guatemala, Honduras, Nikaragua, Panama, Peru. Sementara itu, di Asia penyakit
ini terjadi di Banglades, Cina, India, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Filipina,
Taiwan, Srilanka, dan Thailand. Sumber utama dari penyebaran penyakit ini
diduga berasal dari penggunaan induk dan benur liar yang diketahui membawa WSV,
begitu juga dengan berbagai krustasea bahkan larva insekta akuatik [4]. Virus
ini dapat ditularkan dari hospes ke hospes tanpa vector biologis. Dekapoda liar
termasuk Mysis.sp, Acetes sp.,
Alpheus sp., Callianassa sp., Exopalaemon sp., Helice sp.,
Hemigrapsus sp. Macrophthalmus sp., Macrophthel sp., Metaplax
sp.,Orithyia sp., Palaemonoidea sp., Scylla sp,. Sesarma
sp., Stomatopoda sp dapat terinfeksi WSSV pada kondisi lingkungan
yang sesuai. Copepoda, rotifer, artemia, Balanus sp., dan Tachypleidue
sp dapat menjadi karier melalui infeksi laten tanpa menimbulkan penyakit.
Moluska laut seperti cacing polichaeta dan arthropoda seperti isopoda dan larva
insekta secara mekanik membawa virus ini. Infeksi dapat menyebar secara
vertikal melalui ciran ovarium dan horizontal melalui kanibalisme serta melalui
air. Hewan yang mati dan sekarat dapat menjadi sumber penularan. Prevalensi
penyakit ini cukup bervariasi dari <1% populasi terinfeksi hingga 100%.
Mortalitas berlangsung cepat dan parah, dapat mencapai 100% dalam 3-7 hari.
Virus ini tetap di lingkungan selama 5 hari dan mampu bertahan dari pembekuan [5,
7].
Faktor Predisposisi/
Faktor pendukung
Perubahan suhu air, kesadahan, salinitas, dan penurunan kadar
oksigen (<2 ppm) secara cepat diduga kuat dapat memicu outbreak infeksi
subklinis WSD [4]. Munculnya
penyakit ini juga dapat dipicu oleh blooming plankton yang kemudian mati mendadak, fluktuasi pH harian besar, suhu yang
rendah, hujan mendadak, pengelolaan pakan yang kurang baik [8].
Gejala Klinis
Kebanyakan bintik putih ini akan
muncul di eksoskeleton dan epidermis udang yang sakit sekitar dua hari pasca infeksi. Bintik putih ini
mulai teramati dari karapas dan segmen 5-6 dengan diameter 3mm. Bintik ini
dapat menyatu dan membentuk bercak yang meluas. Udang dengan infeksi WSSV
terlihat mengapung [1, 5]. Perubahan tingkah laku udang teramati dengan
terhentinya nafsu makan, letargi, dan berenang di dekat permukaan. Pada stadium
awal infeksi, udang yang hampir mati mengalami perubahan warna menjadi
kemerahan akibat perluasan kromatofora dengan sedikit atau tanpa ada bintik
putih. Pada udang windu kutikula menjadi longgar disertai bercak putih di
permukaan bagian dalam karapas. Bercak putih ini merupakan deposit kalsium pada
karapas [6].
Perubahan patologi
Organ target utama dari WSSV adalah jaringan yang berasal dari
ectodermal dan mesodermal terutama epitel kutikula dan jaringan ikat
subkutikula. Meskipun dapat menginfeksi jaringan ikat yang melekat dengan hepatopankreas
dan midgut namun sel epitel tubulus dari kedua organ ini tidak pernah
terinfeksi [5].
Metode Diagnosa
Deteksi keberadaan virus ini paling baik dilakukan pada
stadium akhir post larva, juvenil, dan dewasa. Probabilitasnya makin meningkat
dengan adanya kondisi streas (seperti ablasi, pemijahan, moulting, perubahan
salinitas, suhu atau pH, dan saat blooming plankton) [5]. Diagnosa awal dapat
ditetapkan dengan melihat gejala klinis berupa bintik putih pda eksoskeleton. Squash
dari insang, subkutikulla lambung ataupun cephalothorax menunjukkan nukleus
hipertrofi dalam sel yang bervakuola. Diagnosa dengan histopatologi dapat
teramati adanya degenerasi, hipertrofi nukleus, marginasi kromatin, benda
inklusi intranuklear pada epitel cangkang, insang, lambung, jaringan hematopoietic,
organ limfoid, kelenjar antennal, dan jaringan syaraf. Benda inklusi yang
teramati merupakan Cowdry tipe A dengan halo. Pemeriksaan PCR dapat dilakukan
dengan mengambil insang, pleopod, periopod, dan hemolimfe. Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan antara lain LAMP, dot blot, IFA, MABs cell culture. Metode
bioassay dapat dilakukan dengan memberikan pakan berupa udang yang terinfeksi
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan secara histopatologi dan PCR [1, 5, 7].
Diagnosa Banding
Berdasarkan perubahan makroskopisnya,
bintik putih pada karapas selain disebabkan oleh WSSV juga dapat disebabkan
oleh infeksi bakterial atau infeksi IHHNV [2].
Bintik putih akibat infeksi bakteri (Bacterial
White Spot Syndrom) berhubungan dengan penggunaan Bacillus subtilis sebagai
probiotik serta pH dan alkalinitas yang tinggi. Bintik putih ini
tampak seperti “lichen”, memiliki pusat berlubang dengan titik-titik
melanisasi. Namun pada pemeriksaan secara mikroskopis, bintik putih yang
terjadi tidak disertai dengan adanya benda inklusi [3]. Perbedaan bintik putih akibat infeksi WSSV dan IHHNV
adalah lokasi terdapatnya bintik tersebut.
Pada infeksi WSSV bintik ditemukan pada karapas dan kutikula permukaan
tubuh, sedangkan untuk kasus infeksi IHHNV bintik putih terjadi pada kutikula
pada segmen ketiga hingga ke enam abdomen [2].
Pencegahan dan
Pengendalian
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit WSSV
antara lain:
1. Peningkatan biosekuriti
2. Penyediaan benih yang bebas WSSV
3. Mengeliminasi hewan karier dengan menggunakan plastic ataupun
pembuatan bird scaring device
4. Disinfeksi telur dengan 5mg/L povidone iodine
5. Pemberian immunostimulan seperti peptidoglikan, LPS, glucan,
probiotik, ekstrak rumput laut (fucoidan)
6. Vaksinasi [1]
7. Mempertahankan nilai pH untuk mengurangi tingkat stress udang
8. Tidak menggunakan pakan
beku atau pakan segar yang dibekukan asal hewan pada pembesaran dan hatchery
sebelum disterilisasi dan pasteurisasi [4]
9.
Disinfeksi seluruh
peralatan budidaya
10. Pemeliharaan kualitas air yang baik
Hal-hal yang
dilakukan apabila terjadi outbreak
a.
Tambak yang
terinfeksi segera ditreatmen dengan 30ppm klorin untuk membunuh udang dan
berbagai hewan karier.
b.
Udang dan hewan
lain yang mati segera dikubur atau dibakar
c.
Air dari tambak
yang terinfeksi didiamkan selama 4 hari sebelum dibuang
d.
Menginformasikan
kepada pemilik tambak berdekatan dan tidak melakukan penggantian air minimal 4
hari (apabila air tambak berkontak langsung dengan tambak terinfeksi).
e.
Bila dilakukan
pemanenan, air ditampung terlebih dahulu untuk didisfeksi dengan klorin dan
didiamkan selama 4 hari. Semua material yang tersisa ditambak dibakar atau
dikubur. Seluruh personil yang terlibat dalam pemanenan harus mandi dan
berganti pakaian di lokasi. Pakaian sebaiknya disimpan dalam wadah khusus dan
disinfeksi. Peralatan, kendaraan, alas kaki, dan container udang didisinfeksi
dan air sisanya dibuang ke tambak treatmen [4].
Referensi
[1] Lio-Po.
G.D. dan Inui, Y. 2014. Health Management in Aquaculture Second Edition.
Southeast Asian Fisheries Development Center, Aquaculture Department.
[2] Lightner, D.V. 2012. Shrimp Pathology Course.
Department of Veterinary Science, University of Arizona.
[3] Afsharnasab, M., R. Mortezaei, V. Yegane, B. Kazemi. 2009. Gross Sign, Histopathology and Polymerase Chain Reaction Observation of White Spot Syndrom Virus in Shrimp Specific Pathogen Free Litopenaeus vannamei in Iran. Asian Journal of Animal and Veterinary Advances 4(6): 297-305
[4] Reantaso, M.G.B., Sharon E. McGladdery, Iain East, Rohana P. Subasinghe.
2001. Asia Diagnostic Guide to Aquatic Animal Diseases. FAO FISHERIES
TECHNICAL PAPER 402/2
[5] OIE. 2014. OIE Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals Chapter 2.2.06: White Spot Disease.
[5] OIE. 2014. OIE Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals Chapter 2.2.06: White Spot Disease.
[6] Varner, P.V. dan Kent W Hasson. 2008. White Spot Syndrome in
Crustaceans in Blue Book 2014.
[7] Raidal, S., Garry Cross, Stan Fenwick, Philip Nicholls, Barbara Nowak,
Kevin Ellard, Frances Stephens. 2004. Aquatic Animal Health: Exortic Disease
Training Manual. Fisheries Research and Development Corporation and Murdoch
University
[8] Amri, K. dan Iskandar Kanna. 2008. Budidaya
Udang Vaname: Secara Intensif, Semi Intensif, dan Tradisional. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta
No comments:
Post a Comment